" Masukan kodoknya ke dalam masjid, masukan kodoknya ke dalam masjid !" teriak seorang anak bawang dengan peci miringnya seraya menggapai-gapai tubuh lunak seekor kodok. Teman-temannya ikut sibuk mengejar. Ramai.
Tapi sang kodok terus meloncat, menjauhi tangan-tangan jahil bocah-bocah ingusan, yang kadang masih sulit membedakan antara tangan kiri dan tangan kanan.
Kodok itu pun menjauh, anak-anak bawang hanya bisa mengeluh perlahan, "yaaaaa ...".
Malam itu, para jamaah shalat isya masjid al-ikhlas terbebas dari gangguan kulit kodok yang budug.
Anak-anak bawang tertawa. Menertawakan kekalahan mereka atas si kodok budug. Tapi tawanya tak lama, karena setelah itu, seorang pemuda paruh baya menyuruh mereka masuk ke dalam masjid. Rupanya shalat telah usai.
Anak-anak itu baru selesai mengaji. Sejatinya mereka ikut shalat isya berjamaah, lalu pulang. Tapi malam itu, mereka terpaksa lebih lama berdiam di masjid. Guru ngajinya menghukum mereka karena konspirasi "Kodok Budug". Rupanya si guru ngaji tidak khusyu dalam shalat, masih sempat mendengar teriakan para anak bawang. Tapi anak-anak itu tidak mengerti kalau kodok dilarang masuk masjid.
Akhirnya mereka dapat tambahan sekitar dua puluh menitan merenung di dalam masjid yang gelap karena guru ngajinya mematikan semua lampu. Mereka disuruh merenungkan kesalahan yang telah diperbuat. Tapi para anak bawang tidak mengerti kesalahannya. Namun mereka sedikit mengerti kenapa sang kodok tidak boleh masuk masjid. Karena kulitnya budug.
Anak bawang dengan peci miring seolah serius merenung. Tapi yang direnunginya hanya satu, "kemana sang kodok pergi?".
Berpuluh-puluh tahun kemudian, dalam perenungan, sang anak menuliskan pengalamannya di sebuah blog.
Tapi sang kodok terus meloncat, menjauhi tangan-tangan jahil bocah-bocah ingusan, yang kadang masih sulit membedakan antara tangan kiri dan tangan kanan.
Kodok itu pun menjauh, anak-anak bawang hanya bisa mengeluh perlahan, "yaaaaa ...".
Malam itu, para jamaah shalat isya masjid al-ikhlas terbebas dari gangguan kulit kodok yang budug.
Anak-anak bawang tertawa. Menertawakan kekalahan mereka atas si kodok budug. Tapi tawanya tak lama, karena setelah itu, seorang pemuda paruh baya menyuruh mereka masuk ke dalam masjid. Rupanya shalat telah usai.
Anak-anak itu baru selesai mengaji. Sejatinya mereka ikut shalat isya berjamaah, lalu pulang. Tapi malam itu, mereka terpaksa lebih lama berdiam di masjid. Guru ngajinya menghukum mereka karena konspirasi "Kodok Budug". Rupanya si guru ngaji tidak khusyu dalam shalat, masih sempat mendengar teriakan para anak bawang. Tapi anak-anak itu tidak mengerti kalau kodok dilarang masuk masjid.
Akhirnya mereka dapat tambahan sekitar dua puluh menitan merenung di dalam masjid yang gelap karena guru ngajinya mematikan semua lampu. Mereka disuruh merenungkan kesalahan yang telah diperbuat. Tapi para anak bawang tidak mengerti kesalahannya. Namun mereka sedikit mengerti kenapa sang kodok tidak boleh masuk masjid. Karena kulitnya budug.
Anak bawang dengan peci miring seolah serius merenung. Tapi yang direnunginya hanya satu, "kemana sang kodok pergi?".
Berpuluh-puluh tahun kemudian, dalam perenungan, sang anak menuliskan pengalamannya di sebuah blog.