Wakatobi Journey : Day 4

12 mei 2012

Ini merupakan hari terakhir perjalanan kami di pulau Tomia, sebelum esok kembali ke Bau Bau.  Hari ini  tidak ada acara jalan pagi mengejar sunrise, hoping island di mulai pukul 9 pagi seperti sebelumnya, menunggu saat saat arus laut tidak terlalu deras. Berarti masih ada waktu untuk tidur lagi setelah solat subuh, melemaskan badan, menghimpun tenaga untuk snorkling terakhir kali. Tidak mau mengulangi kesalahan kemarin, meskipun tidak makan nasi, pagi itu saya paksakan untuk banyak makan cemilan, kue bolu, pisang goreng , dan secangkir teh manis. Lumayan sebagai energi dan pelindung badan dari angin laut dan goncangan ombak, yang tanpa terasa bisa menyiksa lambung. Rencananya hari ini kami akan diving, bagi yang ber-lisensi, dan snorkling di Table Coral, Teluk Maya, dan Fun 38 di sekitar pulau Waha.

KM Romeo
Kapal KM Romeo, sudah menunggu di pelabuhan Tomia. Hari ini pelabuhan terasa ramai. Beberapa kapal penumpang baru saja sandar, membawa para penumpamg dengan segala bawaannya. Semuanya kapal kayu bermotor, seperti kapal yang kami tumpangi dari Bau Bau beberapa hari yang lalu. Kondisi pelabuhan yang ramai ini tentu saja tidak saya sia siakan, saya keluarkan kamera dan jepret sana, jepret sini sebelum naik ke Kapal Romeo. Tidak setiap hari pelabuhan ramai, hanya ketika ada kapal yang sandar saja. Bahkan pelabuhan yang biasanya sepi sama sekali, hari itu dipenuhi oleh pedagang dan tukang ojek yang siap mengantarkan penumpang, kemanapun tujuannya di pulau Tomia.

 suasana pelabuhan yang ramai

menyambut kapal yang bersandar

Kamera tetap saya tenteng sampai kapal meninggalkan pelabuhan, bahkan sampai kapal jauh meninggalkan pelabuhan. Kali saja ada moment yang bagus  saat di tengah pelayaran nanti. Maklum ini adalah hari terakhir kami di Tomia. Dan saya ingin mendapatkan gambar sebanyak mungkin sebelum meninggalkan pulau yang indah ini dengan keramahan penduduknya.

potret masyarakat

meninggalkan pelabuhan

Di tengah perjalanan, belum terlalu jauh dari pesisir pantai Tomia, kami bertemu dengan kapal Wisata Indah 2, saudara dari kapal Wisata Indah 1 yang dulu membawa kami dari Bau Bau. Berbeda dengan saudaranya, ukurannya memang sedikit lebih kecil, tapi konon lebih cepat dan lebih tepat waktu. Lantas kenapa kami dulu tidak menggunakn kapal ini? Karena pada hari itu jadwal kapal Wisata Indah 1 lah yang berlayar. Kedua kapal kakak adik ini berlayar bergantian berdasarkan hari.

 
 
menyongsong kapal Wisata Indah 2

Perjalannan ke Table Coral ditempuh kurang lebih satu jam, lebih lama dibandingkan perjalanan ke pulau Nda'a kemarin. Waktu yang cukup panjang ini kami manfaatkan untuk menikmati keindahan laut Wakatobi. Beberapa dari kami berharap dapat bertemu dengan paus pilot. Tapi hari itu mamalia tambun itu tidak menampakkan hidungnya sama sekali. Di kejauhan beberapa kapal nelayan hilir mudik mencari ikan. 

 

pemandangan selepas meningalkan pelabuhan

Meninggalkan pulau Tomia, kami melewati resort mewah milik Wakatobi Dive Resort. Deretan bungalow di sela sela pohon kelapa yang disusun rapi meberi kesan elegan resort yang berdiri di atas hamparan pasir putih  ini. Resort yang konon di kelola oleh warga negara asing ini, mematok harga yang cukup "wah" untuk penginapan dan trip di Wakatobi, harga kamar termurah saja berkisar sekitar 3.5 juta permalamnya. Tak heran jika pelanggannya pun kebanyakan warga negara asing juga.

 
 
 
Wkatobi Dive Resort

Snorkling di Table Coral

Ketika berangkat, cuaca tampak cerah ,namun begitu mendekati Table Coral rintik air hujan tiba tiba menyergap kapal kami. Terpal kapal pun diturunkan, untuk berlindung dari cipratan air hujan. Kemudian tiba tiba hujan pun reda. Di depan sebelah kanan kapal terlihat langit mulai cerah. Lain halnya di depan sebelah kiri kapal, awan hujan yang cukup tebal menggelayut siap menumpahkan airnya, sebagiannya bahkan sudah ditumpahkan sehingga yang terlihat hanya gelap. Sungguh cuaca yang aneh. Tak lama kemudian hujan pun menjadi gerimis, menyisakan hanya tetes tetes air yang terkadang hilang di bawa angin. Meskipun hujan sudah reda, matahari tak kunjung menampakkan dirinya. Air laut yang sangat  jernih di Table Coral pun tidak bisa menampakkan keelokannya secara maksimal akibat kurangnya paparan sinar matahari.

Di spot ini kami bertemu lagi dengan kapal dari Wakatobi Dive Resort, yang penumpangnya sedang diving menikmati keindahan bawah laut Table Coral. Semuanya warga negara asing. Selama kami melakukan hoping island, diving, dan snorkling di sekitar Tomia, kami tidak petnah melihat pengunjung/ wisatawan lain kecuali satu kapal berisi para bule dari Resotr mewah tersebut. Tidak ada satupun wisatawan domestik. Mungkin karena jadwal trip kami yang jatuh di hari hari biasa, bukan weekend ataupun hari libur. Jadilah kami seolah raja sehari yang bebas menikmati keindahan bawah laut Wakatobi.

turis Wakatobi Dive Resort

Hari ini saya benar benar menikmati snorkling di Table Coral. Saya sudah merasa terbiasa dengan kaki katak, berenang ke sana kemari, meliuk ke kiri dan ke kanan.  Tambah lagi, tidak ada acaramasuk angin hari ini. Meskipun tidak ada sinar matahari, saya masih bisa menikmati keindahan bawah laut Table Coral dengan beragam jenis ikan dan terumbu karangnya. Sesekali saya biarkan tubuh ini tebawa arus laut agar tidak terlalu capek. Sementara tangan memegang kamera poket Nikon Coolpix 7100 yg terbungkus oleh casing kedap air Dicapack. Mengabadikan dalam bentuk video keindahan dunia bawah laut. Sayangnya kamera ini kurang mumpuni untuk digunakan memotret di bawah laut, atau memang saya kurang memahami fungsi dan fitur kamera ini :p. 


 bilas setelah diving

dive master kita

Saking asiknya, saya sampai tidak sadar kalau ternyata sudah terbawa arus cukup lama dan jauh dari kapal. Sampai akhirnya seorang awak kapal yang menaiki sampan kecil menepuk pundah saya sambil berkata, " Ayo Mas kembali ke kapal !  " Seraya mendongakkan kepala dari air, saya melihat yang lainnya sudah menuju ke kapal. Dengan sekuat tenaga saya pun berenang mendekati kapal. Apesnya,  karena terlalu dipaksa, beberapa puluh meter di dekat kapal kaki kanan saya kram. Untungnya sampan yang di dayung oleh awak kapal yang tadi mengingatkan saya berada tak jauh dari situ. Akhirnya sisa perjalanan ke kapal saya tempuh dengan menggunakan sampan.

Teluk Maya

Setelah semuanya kembali  ke kapal dan beristirahat sejenak kapal pun menuju ke spot berikutnya Teluk Maya. Salah satu awak kapal berceloteh,"  Spot ini tak terlalu bagus, ikannya tak terlalu bannyak". Ternyata benar saja, memang tidak sebayak di Table Coral. Tapi saya masih bisa menikmatinya. Meskipun tidak seindah spot sebelumnya tapi masih mending di banding spot snorkling lainnya di luar Wakatobi. Setelah puas berkeliling, kami kembali ke kapal untuk menyantap makan siang.

Bertemu Ular Laut

Setelah makan siang kami melanjutkan ke spot terakhir di dekat pulau Waha. Di spot inilah pertama kali saya bertemu ular laut ketika snorkling. Ketika sedang asik mem-video  keindahan bawah lautnya, tanpa sadar seekor ular laut berwarna birudengan garis garis hitam berlenggak lenggok tepat satu meter di bawah kaki saya, sesekali mengaduk ngaduk pasir, mungkin sedang mencari makan. Hewan laut yang tidak saya harapkan untuk bertemu ini tiba tiba saja muncul di bawah saya.

Ular laut merupakan ular yang paling berbisa diantara jenis ular yang ada di bumi. Dalam waktu kurang dari 8 menit bisanya dapat membunuh korbannya tanpa ampun. Mengingat fakta ini dan melihat ular yang berlenggak lenggok sangat dekat dengan kaki saya, sejenak saya tercekat, tak bisa bergerak, kaget sekaligus takut.  Memang ular laut tidak akan mematuk kalau tidak diganggu. Tapi saya hawatir, karena saking dekatnya, ular itu terhantam kaki katak saya dan kemudian menyerang balik. Setelah sadar dari keterkejutan, perlahan tapi pasti saya berenang menjauh dengan hati hati, jangan sampai menendang si ular laut. Sejak pertemuan dengan ular itu, tiba tiba saja saya kehilangan selera untuk melanjutkan snorkling. Setelah bolak balik berenang di sekitar kapal beberapa menit, saya pun naik ke kapal, mengeringkan diri sambil melihat hasil video di kamera.

Menikmati Eksotisme Pulau Sawa

Setelah semuanya naik kapal, kini saatnya singgah sebentar di pulau Sawa. Di perjalanan saya mengamati rakit apung seorang nelayan yang sedang mengepul ikan. Pemandangan yang cukup menarik untuk diabadikan. Di kejauhan sebuah kapal motor cepat melintas membelah air laut. Buih putih lintasannya masih tersisisa meski kapal tersebut sudah beranjak jauh.

 
 rumah apung nelayan

perahu motor cepat

Tak sampai 10 menit kapal bergerak, kami pun tiba di pulau Sawa. Meskipun air sudah pasang, namun tidak cukup tinggi untuk bersandar ditepi pulau. Akhirnya sisa perjalanan ke pulau Sawa pun dilanjutkan dengan mendayung sampan. Mengantarkan kami satu persatu ke pulau yg kelihatannya sepi penghuni. Hanya beberapa ekor ayam yang sedang berkeliaran di tepi pantainya. Jantannya jauh lebih sedikit dari betinanya. Sementara beberapa camar melayang bergerombol di atasnya.

ayam penghuni Pulau Sawa

burung camar 

 
Pulau Sawa

menapak di pulau Sawa

Saya tidak ikut turun ke pulau. Selain karena memang waktunya yang sempit, kapal harus menjauh dari pulau sebelum air laut kembali surut kalau tidak kapal bisa tersangkut di karang, saya hanya ingin mengabadaikan keindahan pulau dan garis pantainya dari atas kapal. Seperti layaknya kepulauan Wakatobi pada umumnya, air sekitar pulau ini sangat jernih, permadani koral terhampar luas di bawahnya.  Sayang, sampai menjelang sore itu, matahari sama sekali tidak menampakkan dirinya. Tertutup awan putih bekas mendung tadi pagi.

 
 
menikmati panorama Pulau Sawa dari atas kapal

Setelah kurang lebih setengah jam air laut mulai surut. Awak kapal berteriak teriak kepada kawan kami yang masih berada di pulau, " Ayo kembali ke kapal, kalau tidak air keburu surut, kapal bisa nyangkut di karang sampai besok pagi, saat air kembali pasang ! " Sampan pun kembali mengantarkan kawan kami satu persatu ke kapal. Dan kapal pergi menjauh dari pulau yang airnya mulai surut secara perlahan.

 
 kembali mendayung sampan ke kapal


Kembali Ke Tomia

Warna langit sore yang sudah mulai menguning mengiringi sisa perjalanan kami kembali ke pulau Tomia. Beberapa pemandangan dan moment  yang menarik melintas di sekitar kami, mengelitik untuk diabadikan dalam sebuah foto. Perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Rumah apung mungil yang berebut perhatian dengan warna warni  langit sore dibelakangnya. Rumah rumah kayu sederhana di pesisir pulau Tomia dengan perahu kayu tertambat depannya.


 lapisan langit menjelang senja

  
 aktifitas nelayan di sore hari

rumah di pesisir pantai Tomia

 pelabuhan yang telah yang sepi


Matahari sudah hampir tenggelam ketika kami tiba di pelabuhan. Beberapa anak anak berenang dan snorkling di perairan sebelah pelabuhan yang airnya jernih. Sesampainya di penginapan, setelah istirahat sejenak, kami mulai packing baju dan barang barang karena besok pagi sudah harus meninggalkan pulau Tomia beserta seluruh keindahannya.

Beramah Tamah

Karena ini malam terakhir kami berada di Tomia, selepas isya, kami beramah tamah ke rumah salah satu kawan , Ningsih,  seorang gadis kelas satu SMA penduduk asli pulau Tomia, yang sejak hari pertama kedatangan kami senantiasa menyertai kami selama tripdi pulau ini . Menyoal namanya, sampai sekarang saya masih belum mengerti kenapa namanya mirip dengan nama Jawa, padahal ibu bapaknya asli penduduk Tomia juga.

Baru berjalan beberapa puluh meter berjalan keluar penginapan,  kami disambut oleh suasana gelap gulita. Malam itu di beberapa lokasi memang sedang diadakan pemadaman listrik bergilir oleh PLN. Yang tersisa hanya setitik cahaya bulan yang tak mampu menerangi jalan di depan kami. Untungnya beberapa dari kami membawa lampu senter sebagai antisipasi.

Sesampai di rumah nya, kami disambut oleh bau harum makanan, seperti pisang goreng. Bau itu ternyata berasal dari wajan yg digunakan oleh ibunya untuk memasak kue khas daerah itu. Di sudut ruang tamu , yang sepertinya juga merupakan ruang serbaguna untuk semua aktivitas kecuali tidur, yang masih gelap karena pemadaman listrik,  sebuah kompor gas sederhana menyala, memanaskan minyak yang menggejolak didalam wajan. Dengan telaten, beliau menuangkan adonan tepung beras yang telah dicampurgula melalui celah celah kecil batok kelapa yang telah di lubangi kecil kecil, sambil di goyang goyang perlahan  secara merata ke dalan wajan. Kemudian dengan sendok makan, dilipatnya adonan tersebut lalu digulung diatas minyak yang mendidih samapai matang. Hasil akhirnya adalah kue kering seperti kue semprong akan tetapi dengan tekstur seperti jalinan benang.

Yang menarik, ternyata kue khas tersebut sengaja di buat untuk menyambut kedatangan kami dan juga  menjadi oleh oleh untuk kawan kawan explore solo ketika pulang esok hari. Katanya, kue tersebut jarang di buat kecuali kalau ada acara acara khusus. Dan yang membuat kami terenyuh, si ibu harus bela belain pinjam peralatan untuk membuat kue tersebut ke tetangga, dan memasaknya di tengah gelap gulita. Sungguh keramahan dan ketulusan yang mungkin sudah sangat jarang di temui di kota kota besar.

Setelah berbincang bincang, beramah tamah yang diselingi senda gurau, dan tentu saja, mencicipi kue gulung yang terasa manis di lidah, semanis ketulusan keluarga Ningsih menyambut tamu, kami pamit untuk melanjutkan kunjungan ke rumah Pa De, kapten kapal km Romeo.

Setelah berjalan kaki kurang lebih 5 menit, melewati belasan rumah dan pertigaan jalan yang masih diliputi kegelapan, kami pun tiba di kediaman sang kapten. Di pekarangan rumahnya beberapa ibu tampak sedang mengupas dan menggoreng ubi jalar yang ternyata, lagi lagi membuat kami terenyuh, untuk di suguhkan kepada kami bersama segelas kopi. Tak ada kebun ubi di pulau Tomia yang tandus tanahnya. Ubi ubi itu di datangkan dari Bau Bau, menumpang kapal yang serupa dengan yang kami pakai menuju pulau ini.

Ternyata tidak hanya Pa De yang menyambut kami, awak kapal yang lainnya, yg juga seorang Dive Master, pa Ahmad dan bang Anto pun ikut bercengkrama bersma kami. Di atas saung kayu yang diterangi setitik cahaya lampu senter, dipinggir pantai, ditemani ubi goreng, dan segelas kopi,  kami berbincang bincang tentamg segala macam. Dari mulai dunia diving, yang membuat saya iri karena belum meiliki diving license, sampai berita terkini, jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak, Bogor.

Bang Anto bercerita tentang pengalamannnya sebagai Dive Master yang sudah menyelami keindahan bawah laut di berbagai spot diving di Indonesia. Pengalaman saat dia menjadi dive master bagi orang orang bule, bahkan istri pejabat, sampai pengalamannya menyelam di dekat pulau Runduma, Wakatobi, yang di kenal dengan Super Dive karena saking banyaknya ikan di spot tersebut sampai sampai ketika memegang kamera bawah laut dia kebingungan mau motret ikan mana, karena semuanya menarik. 

Sedangkan Pa De, bercerita tentang pengalamannya selama membawa kapal di samudra luas. Hampir seluruh perairan indonesia pernah dijamahnya. Beliau sering diminta para pejabat untuk membawa kapal dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan  kapal sekelas motor boat yang kecil pernah di bawanya  mengarungi lautan dari Jakarta ke Sulawesi. Berbagai pengalaman, suka dan duka,  pernah dirasakannya selama membawa kapal di lautan lepas, bahkan pernah sekali tenggelam di perairan dekat papua yang memaksanya berenang berkilo kilo meter untuk mencapai daratan sampai kakinya hampir mati rasa.

Mengobrol memang membuat lupa waktu. Tanpa terasa waktu sudah mendekati tengah malam. Dengan berat hati kami pun pamit, kembali ke penginapan untuk istirahat. Besok, pagi pagi sekali kami harus sudah ada di pelabuhan, menanti kapal Wisata Indah 1 yang akan mengantar kami kembali  ke Bau Bau, meninggalkan semua rasa takjub akan keindahan alam dan keramahan penduduk Wakatobi.

Wakatobi Journey : Day 3


11 mei 2012

Matahari belum beranjak naik ketika kami meninggalkan penginapan pukul setengah enam pagi. Dengan pete pete yang sama seperti hari sebelumnya, kami menuju pantai Kolosoha dengan pasir putih dan garis pantainya yang panjang. Konon katanya kalau beruntung, ketika  air laut surut, banyak bintang laut yang terdampar di pantai ini.

Menikmati baluran mentari pagi di Pantai Kolosoha

Ketika sampai di pantai Kolosoha, matahari pagi sudah mulai naik agak tinggi ,tetapi masih menyisakan langit jingganya di ufuk timur. Pagi di pantai ini cukup sepi, beberapa kapal nelayan terlihat bersandar di pesisir pantainya. Sayangnya bintang laut yang diharapkan terdampar tidak kami temukan, mungkin belum beruntung. Selang beberapa lama , perlahan tapi pasti, sang surya naik semakin tinggi memoles langit yang tadinya  jingga menjadi biru laut.



sunrise di pantai Kolosoha

 
 pantai Kolosoha sesaat setelah sunrise

Di bawah pohon, beberapa wanita terlihat mulai menjemur ikan asin, sementara anak anak  kecil bermain di perahu kayu yang ditambatkan di bibir pantai. Sepetinya  perahu itu sudah lama tidak menerjang ombak, atau mungkin baru saja dipensiunkan oleh si empunya.

wanita pantai Kolosoha sedang menjemur ikan asin


anak anak bermain di atas perahu yang sedang bersandar

Tiba tiba tak jauh dari tempat kami berdiri, sebuah kapal nelayan baru merapat ke pesisir pantai. Mengeluarkan hasil tangkapan melaut yang dilakoni dari pukul lima sore hari sebelumnya. Belasan ikan kerapu kecil di ikat dalam satu ikatan kulit kayu kering, untuk di ual di pasar. Ketika di tanya harganya, istri sang nelayan menyebutkan nominal 5 ribu rupiah. Sungguh harga yg sangat murah untuk ikan sebanyak itu belum lagi memperhiungkan waktu menangkapnya yang menghabiskan semalam suntuk. Satu ikan yg lainnya yang ukurannya jauh lebih besar, saya lupa nama nya, dijual 15 ribu per ekor.  Kalau di kota besar mungkin bisa mencapai 50-60 ribu perekornya. Kalau di hitung hitung, semua tangkapan nelayan itu jika laku di jual dipasar semuanya tidak sampai 80 ribu. Sungguh jumlah yang sangat  kecil jika dibandingkan resiko dan waktu yang dihabiskan oleh sang nelayan selama semalaman di lautan lepas.

nelayan baru pulang melaut membawa hasil tangkapannya

 ikan sebesar ini hanya dibandrol 15 ribu rupiah per ekor

Setelah puas menyusuri garis pantai Kolosoha, menjejejakkan kaki di pasirnya yang putih, mengambil foto, dan berbincang dengan nelayan pesisir pantai, sekitar jam 8 pagi kami kembali ke penginapan untuk sarapan pagi dan persiapan wisata laut di beberapa spot di sekitar pulau Tomia.

Sekitar pukul setengah sepuluh kami pun berangakat untuk hoping island dengan menggunakan kapal Romeo, yang dua hari sebelumnya sempat menjemput kami dari kapal wisata Indah 1 menuju pelabuhan Tomia. Di kapal itu juga sudah tersedia peralatan diving dan snorkling yang bisa kami gunakan untuk menjelajah keindahan bawah laut Wakatobi. 

Bank Ikan Terbesar di Dunia

Wakatobi memang terkenal akan keindahan dan kekayaan hayati bawah lautnya, bagai mana tidak, dari sekitar 750 jenis ikan yang ada di dunia, sekitar 590 diantaranya ada di Wakatobi. Belum lagi keanekaragaman terumbu karangnya, tercatat sekitar 396 jenis terumbu karang hidup diperairan ini. Keanekaragaman hayati bawah laut ini tidak lepas dari posisinya yang berada persis diantara segitiga karang dunia. Tak ayal jika pemerintah mentahbiskannya sebagai salah satu Taman Nasional Laut di Indonesia. Sementara spot diving/snorkling di  pulau Tomia sendiri telah di tetapkan oleh PBB sebagai  bank ikan terbesar dan terbanyak di dunia, hal ini tidak terlepas dari kearifan penduduk lokalnya yang sangat menjaga kelestarian lingkungan dan ikan di daerahnya. Maka tak heran jika Komunto (Komunitas Nelayan Tomia) mendapat piagam dari PBB atas kepeduliannya itu. Di sekitar pulau Tomia sendiri tdapat kuarang lebih 93 spot diving/snorkling, bandingkan dengan Bunaken yang hanya memiliki 20 spot diving/snorkling.

Menonton Rombongan Paus

Tujuan pertama kami untuk snorkling/diving adalah Pulau Nda'a. Perjalanan ditempuh sekitar tiga perempat jam dari pelabuhan Tomia. Cuaca cerah, laut tenang, angin berhembus sepoi sepoi berusaha menyeret kami ke alam mimpi. Tiba tiba, di tengah perjalanan kami di kejutkan dengan titik titik hitam dilautan. Timbul tenggelam, timbul tenggelam.Setelah didekati, secara spontan, awak kapal berteriak " Lumba Lumba , Lumba Lumba !". Kontan saja kami  yang tadinya hampir terlelap karena buaian angin, secara serentak langsung naik ke bagian depan kapal untuk melihat lebih dekat mamalia sahabat manusia itu sambil bertepuk tangan, karena konon lumba lumba sangat senang kalau mendengar tepukan tangan. 

Awalnya hanya terlihat satu atau dua ekor yang menunjukkan siripnya ke permukaan laut, tapi lama kelamaan kami melihat puluhan ekor berenang bergerombol di depan dan disekitar kapal. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Biasanya lumba lumba gemar melompat di atas permukaan laut, namun tidak demikian halnya dengan yang ada di hadapan kami. Setelah didekati lagi, bertambahlah keganjilan pada ikan yang kami kira lumba lumba itu. Ikan itu sama sekali tidak memiliki moncong, akan tetapi memiliki benjolan dikepalanya. Tidak hanya itu saja, semakin didekati, semakin kelihatan bahwa ikan tu jauh lebih besar daripada lumba lumba pada umumnya. Panjangnya sekitar 3-4 meter. Fakta mengejutkan ini mengantarkan kami pada kesimpulan bahwa ikan itun bukan lumba lumba tetapi ... paus.
 

 menyaksikan rombongan paus Pilot
 
Dan memang belakangan, setelah kami cari tahu sekembalinya ke penginapan, ikan itu memang bukan lumba lumba tetapi merupakan sejenis paus , tepatnya  paus pilot. Sungguh keberuntungan yang luar biasa bisa menyaksikan rombongan paus pilot dari dekat. Bahkan para awak kapal yang sudah biasa berlayar  di perairan Tomia  pun dibuat terbengong bengong olehnya.


 video rombongan paus pilot di perairan menuju pulau Nda'a

Menikmati keindahan pulau Nda'a dan kekayaan bawah lautnya

Mendekati pulau Nda'a waktu menunjukkan pukul setengah sebelas siang, air masih belum pasang, sehingga kapal belum bisa mendekat ke pulau berpasir putih tersebut. Dengan peralatan diving dan snorkling kami pun terjun ke laut untuk menikmati keindahan bawah laut pulau Nda'a. Tiga orang diantara kami yang sudah memiliki diving license  langsung menyelam menuju kedalaman  sekitar 15 - 25 meter, sedangkan saya yang tidak memiliki  dan beberapa peserta lainnya yang tidak mmiliki diving license harus berpuas diri dengan ber-snorkling ria. Meskipun hanya snorkling, keindahan bawah laut pulau Nda'a benar benar mampu menghipnotis kami. 

  
snorkling di Pulau Nda'a

Cuaca yang cerah, menghantarkan cahaya matahari masuk kedalam air yang sebening kaca, menerangi terumbu karang, dan ratusan ikan yang berenang dari satu terumbu karang ke terumbu karang yang lainnya. Saya pun terlena dibuatnya sampai tidak merasakan arus permukaan yang masih agak deras mengombang ambing tubuh  yang terperangkap  pelampung. Setelah hampir setengah jam di laut, berenang kesana kemari melawan arus laut, tubuh mulai  terasa lelah. Hendak kembali ke kapal, ternyata jaraknya sudah cukup jauh karena saya terbawa oleh arus laut. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya berenang menuju kapal. Namun apa daya, karena tidak menggunakan kaki katak atai fins, ayuhan kaki ini tidak berkutik melawan arus laut,. Dan kelelahan pun semakin menjadi.  Napas mulai terasa sesak. Untungnya, tak lama kemudian, kapal datang menghampiri. Naik ke atas kapal ,saya langsung berbaring lemas. Sepertinya masuk angin gara gara perut baru terisisepotong pisang goreng dan secangkir teh manis saja tadi pagi.

 
 
sinar matahari menembus perairan disekitar pulau Nda'a membuatnya tampak sebening kaca

Sekitar pukul  setengah duabelas siang air laut semakin meninggi dan kapal mulai bergerak lebih mendekat ke pulau Nda'a. Dengan hati hati agar tidak mengenai karang, awak kapal secara perlahan memandu dan menempatkan jangkar di dasar yang berpasir. Tubuh masih lemas, tapi ketika melihat air yg sebening kaca hingga sampan yang akan kami gunakan untuk menyebrang ke pulau seolah olah melayang diatas pasir,  semangat kembali muncul. Saya langsung menyeberang ke pulau menggunakan sampan dengan bertelanjang dada tanpa menghiraukan matahari yang sudah sangat menyengat.

 
 
 memandang KM Romeo dari pulau Nda'a

 
Sesampainya di pulau saya baru merasakan panasnya terik matahari menerpa pundak, malas untuk menyebrang kembali ke kapal, saya pun mengacuhkan rasa panas itu. Untungnya tak beberapa lama, saya bertemu dengan salah satu awak kapal yang menggunakan baju rangkap dua. Tanpa sungkan saya pun meminjam salah satu bajunya untuk di pakai selama mengeliligi pulau Nda'a.  Untuk kali ini saya terbebas dari paparan sinar matahari siang yang bisa membakar kulit dan menyebabkan susah tidur di malam hari karena perih yang terasa setelahnya. Terimakasih pak, atas pinjaman bajunya :).








 menyusuri keindahan pulau Nda'a

Setelah puas berkeliling pulau dan berfoto foto, kami kembali ke kapal untuk menyantap makan siang di atas kapal. Menu sederhana yg disajikan terasa sangat nikmat, ditambah lagi suguhan pemandangan pesisir pantai pulau Nda'a dengan biru lautnya yg sebening kaca terbentang di depan mata. Sungguh kenikmatan yang tiada terkira. 

 
 
 bersantap siang di atas kapal sambil memandang keindahan pulau Nda'a


Antara MariMabuk dan Roma

Seusai makan siang kapal kembali ke Pulau Tomia menuju spot berikutnya, MariMabuk dan Roma.  Dua spot ini terkenal karena keanekaragaman karang dan spesies ikannya. Namun sayang begitu sampai di spot ini cuaca tidak secerah sebelumnya, mendung menggelayut di langit Wakatobi. Meskipun demikian , sedikit cahaya yang menyinari bawah laut MariMabuk dan Roma pun sudah cukup untuk memamerkan pesonanya.

Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, kali ini saya menggunakan kaki katak atau Fins. Awalnya agak kaku berenang dengan menggunakan fins, tapi lama kelamaan terbiasa juga, setidaknya bisa melawan arus laut. Sama seperti halnya di pulau Nda'a, keindahan bawah laut spot ini juga mampu membius kesadaran saya. Apalagi di spot ini konturnya landai kemudian menukik tajam ke bawah, dan biasanya lebih banyak ikan yang berenang di peralihan kontur ini. Sungguh sangat mengagumkan. Setelah puas  hampir satu jam mengeksplore keindahan bawah laut MariMabuk dan Roma, sekitar pukul 3 sore kami pun kembali ke pelabuhan Tomia yang sudah tak jauh lagi dari dua spot terakhir ini.


Malam itu, di penginapan,  kami membahas dan menggali informasi tentang paus pilot yang kami lihat tadi siang. Ternyata paus ini memang sering ditemukan di perairan indonesia bagian utara. Setelah berbincang ke sana ke mari, mata sudah tidk bisa diajak berkompromi lagi. Binarnya hanya kurang dari 5 watt. Akhirnya, kami pun terlelap membawa keindahan Wakatobi  ke dalam bunga tidur malam itu.

Copyright © 2008 - My Lo(v/n)ely Journey - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template