12 mei 2012
Ini merupakan hari terakhir perjalanan kami di pulau Tomia, sebelum esok kembali ke Bau Bau. Hari ini tidak ada acara jalan pagi mengejar sunrise, hoping island di mulai pukul 9 pagi seperti sebelumnya, menunggu saat saat arus laut tidak terlalu deras. Berarti masih ada waktu untuk tidur lagi setelah solat subuh, melemaskan badan, menghimpun tenaga untuk snorkling terakhir kali. Tidak mau mengulangi kesalahan kemarin, meskipun tidak makan nasi, pagi itu saya paksakan untuk banyak makan cemilan, kue bolu, pisang goreng , dan secangkir teh manis. Lumayan sebagai energi dan pelindung badan dari angin laut dan goncangan ombak, yang tanpa terasa bisa menyiksa lambung. Rencananya hari ini kami akan diving, bagi yang ber-lisensi, dan snorkling di Table Coral, Teluk Maya, dan Fun 38 di sekitar pulau Waha.
Kamera tetap saya tenteng sampai kapal meninggalkan pelabuhan, bahkan sampai kapal jauh meninggalkan pelabuhan. Kali saja ada moment yang bagus saat di tengah pelayaran nanti. Maklum ini adalah hari terakhir kami di Tomia. Dan saya ingin mendapatkan gambar sebanyak mungkin sebelum meninggalkan pulau yang indah ini dengan keramahan penduduknya.
Di tengah perjalanan, belum terlalu jauh dari pesisir pantai Tomia, kami bertemu dengan kapal Wisata Indah 2, saudara dari kapal Wisata Indah 1 yang dulu membawa kami dari Bau Bau. Berbeda dengan saudaranya, ukurannya memang sedikit lebih kecil, tapi konon lebih cepat dan lebih tepat waktu. Lantas kenapa kami dulu tidak menggunakn kapal ini? Karena pada hari itu jadwal kapal Wisata Indah 1 lah yang berlayar. Kedua kapal kakak adik ini berlayar bergantian berdasarkan hari.
Perjalannan ke Table Coral ditempuh kurang lebih satu jam, lebih lama dibandingkan perjalanan ke pulau Nda'a kemarin. Waktu yang cukup panjang ini kami manfaatkan untuk menikmati keindahan laut Wakatobi. Beberapa dari kami berharap dapat bertemu dengan paus pilot. Tapi hari itu mamalia tambun itu tidak menampakkan hidungnya sama sekali. Di kejauhan beberapa kapal nelayan hilir mudik mencari ikan.
Meninggalkan pulau Tomia, kami melewati resort mewah milik Wakatobi Dive Resort. Deretan bungalow di sela sela pohon kelapa yang disusun rapi meberi kesan elegan resort yang berdiri di atas hamparan pasir putih ini. Resort yang konon di kelola oleh warga negara asing ini, mematok harga yang cukup "wah" untuk penginapan dan trip di Wakatobi, harga kamar termurah saja berkisar sekitar 3.5 juta permalamnya. Tak heran jika pelanggannya pun kebanyakan warga negara asing juga.
Snorkling di Table Coral
Ketika berangkat, cuaca tampak cerah ,namun begitu mendekati Table Coral rintik air hujan tiba tiba menyergap kapal kami. Terpal kapal pun diturunkan, untuk berlindung dari cipratan air hujan. Kemudian tiba tiba hujan pun reda. Di depan sebelah kanan kapal terlihat langit mulai cerah. Lain halnya di depan sebelah kiri kapal, awan hujan yang cukup tebal menggelayut siap menumpahkan airnya, sebagiannya bahkan sudah ditumpahkan sehingga yang terlihat hanya gelap. Sungguh cuaca yang aneh. Tak lama kemudian hujan pun menjadi gerimis, menyisakan hanya tetes tetes air yang terkadang hilang di bawa angin. Meskipun hujan sudah reda, matahari tak kunjung menampakkan dirinya. Air laut yang sangat jernih di Table Coral pun tidak bisa menampakkan keelokannya secara maksimal akibat kurangnya paparan sinar matahari.
Di spot ini kami bertemu lagi dengan kapal dari Wakatobi Dive Resort, yang penumpangnya sedang diving menikmati keindahan bawah laut Table Coral. Semuanya warga negara asing. Selama kami melakukan hoping island, diving, dan snorkling di sekitar Tomia, kami tidak petnah melihat pengunjung/ wisatawan lain kecuali satu kapal berisi para bule dari Resotr mewah tersebut. Tidak ada satupun wisatawan domestik. Mungkin karena jadwal trip kami yang jatuh di hari hari biasa, bukan weekend ataupun hari libur. Jadilah kami seolah raja sehari yang bebas menikmati keindahan bawah laut Wakatobi.
Hari ini saya benar benar menikmati snorkling di Table Coral. Saya sudah merasa terbiasa dengan kaki katak, berenang ke sana kemari, meliuk ke kiri dan ke kanan. Tambah lagi, tidak ada acaramasuk angin hari ini. Meskipun tidak ada sinar matahari, saya masih bisa menikmati keindahan bawah laut Table Coral dengan beragam jenis ikan dan terumbu karangnya. Sesekali saya biarkan tubuh ini tebawa arus laut agar tidak terlalu capek. Sementara tangan memegang kamera poket Nikon Coolpix 7100 yg terbungkus oleh casing kedap air Dicapack. Mengabadikan dalam bentuk video keindahan dunia bawah laut. Sayangnya kamera ini kurang mumpuni untuk digunakan memotret di bawah laut, atau memang saya kurang memahami fungsi dan fitur kamera ini :p.
Saking asiknya, saya sampai tidak sadar kalau ternyata sudah terbawa arus cukup lama dan jauh dari kapal. Sampai akhirnya seorang awak kapal yang menaiki sampan kecil menepuk pundah saya sambil berkata, " Ayo Mas kembali ke kapal ! " Seraya mendongakkan kepala dari air, saya melihat yang lainnya sudah menuju ke kapal. Dengan sekuat tenaga saya pun berenang mendekati kapal. Apesnya, karena terlalu dipaksa, beberapa puluh meter di dekat kapal kaki kanan saya kram. Untungnya sampan yang di dayung oleh awak kapal yang tadi mengingatkan saya berada tak jauh dari situ. Akhirnya sisa perjalanan ke kapal saya tempuh dengan menggunakan sampan.
Teluk Maya
Setelah semuanya kembali ke kapal dan beristirahat sejenak kapal pun menuju ke spot berikutnya Teluk Maya. Salah satu awak kapal berceloteh," Spot ini tak terlalu bagus, ikannya tak terlalu bannyak". Ternyata benar saja, memang tidak sebayak di Table Coral. Tapi saya masih bisa menikmatinya. Meskipun tidak seindah spot sebelumnya tapi masih mending di banding spot snorkling lainnya di luar Wakatobi. Setelah puas berkeliling, kami kembali ke kapal untuk menyantap makan siang.
Bertemu Ular Laut
Setelah makan siang kami melanjutkan ke spot terakhir di dekat pulau Waha. Di spot inilah pertama kali saya bertemu ular laut ketika snorkling. Ketika sedang asik mem-video keindahan bawah lautnya, tanpa sadar seekor ular laut berwarna birudengan garis garis hitam berlenggak lenggok tepat satu meter di bawah kaki saya, sesekali mengaduk ngaduk pasir, mungkin sedang mencari makan. Hewan laut yang tidak saya harapkan untuk bertemu ini tiba tiba saja muncul di bawah saya.
Ular laut merupakan ular yang paling berbisa diantara jenis ular yang ada di bumi. Dalam waktu kurang dari 8 menit bisanya dapat membunuh korbannya tanpa ampun. Mengingat fakta ini dan melihat ular yang berlenggak lenggok sangat dekat dengan kaki saya, sejenak saya tercekat, tak bisa bergerak, kaget sekaligus takut. Memang ular laut tidak akan mematuk kalau tidak diganggu. Tapi saya hawatir, karena saking dekatnya, ular itu terhantam kaki katak saya dan kemudian menyerang balik. Setelah sadar dari keterkejutan, perlahan tapi pasti saya berenang menjauh dengan hati hati, jangan sampai menendang si ular laut. Sejak pertemuan dengan ular itu, tiba tiba saja saya kehilangan selera untuk melanjutkan snorkling. Setelah bolak balik berenang di sekitar kapal beberapa menit, saya pun naik ke kapal, mengeringkan diri sambil melihat hasil video di kamera.
Menikmati Eksotisme Pulau Sawa
Setelah semuanya naik kapal, kini saatnya singgah sebentar di pulau Sawa. Di perjalanan saya mengamati rakit apung seorang nelayan yang sedang mengepul ikan. Pemandangan yang cukup menarik untuk diabadikan. Di kejauhan sebuah kapal motor cepat melintas membelah air laut. Buih putih lintasannya masih tersisisa meski kapal tersebut sudah beranjak jauh.
Tak sampai 10 menit kapal bergerak, kami pun tiba di pulau Sawa. Meskipun air sudah pasang, namun tidak cukup tinggi untuk bersandar ditepi pulau. Akhirnya sisa perjalanan ke pulau Sawa pun dilanjutkan dengan mendayung sampan. Mengantarkan kami satu persatu ke pulau yg kelihatannya sepi penghuni. Hanya beberapa ekor ayam yang sedang berkeliaran di tepi pantainya. Jantannya jauh lebih sedikit dari betinanya. Sementara beberapa camar melayang bergerombol di atasnya.
Saya tidak ikut turun ke pulau. Selain karena memang waktunya yang sempit, kapal harus menjauh dari pulau sebelum air laut kembali surut kalau tidak kapal bisa tersangkut di karang, saya hanya ingin mengabadaikan keindahan pulau dan garis pantainya dari atas kapal. Seperti layaknya kepulauan Wakatobi pada umumnya, air sekitar pulau ini sangat jernih, permadani koral terhampar luas di bawahnya. Sayang, sampai menjelang sore itu, matahari sama sekali tidak menampakkan dirinya. Tertutup awan putih bekas mendung tadi pagi.
Setelah kurang lebih setengah jam air laut mulai surut. Awak kapal berteriak teriak kepada kawan kami yang masih berada di pulau, " Ayo kembali ke kapal, kalau tidak air keburu surut, kapal bisa nyangkut di karang sampai besok pagi, saat air kembali pasang ! " Sampan pun kembali mengantarkan kawan kami satu persatu ke kapal. Dan kapal pergi menjauh dari pulau yang airnya mulai surut secara perlahan.
Kembali Ke Tomia
Warna langit sore yang sudah mulai menguning mengiringi sisa perjalanan kami kembali ke pulau Tomia. Beberapa pemandangan dan moment yang menarik melintas di sekitar kami, mengelitik untuk diabadikan dalam sebuah foto. Perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Rumah apung mungil yang berebut perhatian dengan warna warni langit sore dibelakangnya. Rumah rumah kayu sederhana di pesisir pulau Tomia dengan perahu kayu tertambat depannya.
Matahari sudah hampir tenggelam ketika kami tiba di pelabuhan. Beberapa anak anak berenang dan snorkling di perairan sebelah pelabuhan yang airnya jernih. Sesampainya di penginapan, setelah istirahat sejenak, kami mulai packing baju dan barang barang karena besok pagi sudah harus meninggalkan pulau Tomia beserta seluruh keindahannya.
Beramah Tamah
Karena ini malam terakhir kami berada di Tomia, selepas isya, kami beramah tamah ke rumah salah satu kawan , Ningsih, seorang gadis kelas satu SMA penduduk asli pulau Tomia, yang sejak hari pertama kedatangan kami senantiasa menyertai kami selama tripdi pulau ini . Menyoal namanya, sampai sekarang saya masih belum mengerti kenapa namanya mirip dengan nama Jawa, padahal ibu bapaknya asli penduduk Tomia juga.
Baru berjalan beberapa puluh meter berjalan keluar penginapan, kami disambut oleh suasana gelap gulita. Malam itu di beberapa lokasi memang sedang diadakan pemadaman listrik bergilir oleh PLN. Yang tersisa hanya setitik cahaya bulan yang tak mampu menerangi jalan di depan kami. Untungnya beberapa dari kami membawa lampu senter sebagai antisipasi.
Sesampai di rumah nya, kami disambut oleh bau harum makanan, seperti pisang goreng. Bau itu ternyata berasal dari wajan yg digunakan oleh ibunya untuk memasak kue khas daerah itu. Di sudut ruang tamu , yang sepertinya juga merupakan ruang serbaguna untuk semua aktivitas kecuali tidur, yang masih gelap karena pemadaman listrik, sebuah kompor gas sederhana menyala, memanaskan minyak yang menggejolak didalam wajan. Dengan telaten, beliau menuangkan adonan tepung beras yang telah dicampurgula melalui celah celah kecil batok kelapa yang telah di lubangi kecil kecil, sambil di goyang goyang perlahan secara merata ke dalan wajan. Kemudian dengan sendok makan, dilipatnya adonan tersebut lalu digulung diatas minyak yang mendidih samapai matang. Hasil akhirnya adalah kue kering seperti kue semprong akan tetapi dengan tekstur seperti jalinan benang.
Yang menarik, ternyata kue khas tersebut sengaja di buat untuk menyambut kedatangan kami dan juga menjadi oleh oleh untuk kawan kawan explore solo ketika pulang esok hari. Katanya, kue tersebut jarang di buat kecuali kalau ada acara acara khusus. Dan yang membuat kami terenyuh, si ibu harus bela belain pinjam peralatan untuk membuat kue tersebut ke tetangga, dan memasaknya di tengah gelap gulita. Sungguh keramahan dan ketulusan yang mungkin sudah sangat jarang di temui di kota kota besar.
Setelah berbincang bincang, beramah tamah yang diselingi senda gurau, dan tentu saja, mencicipi kue gulung yang terasa manis di lidah, semanis ketulusan keluarga Ningsih menyambut tamu, kami pamit untuk melanjutkan kunjungan ke rumah Pa De, kapten kapal km Romeo.
Setelah berjalan kaki kurang lebih 5 menit, melewati belasan rumah dan pertigaan jalan yang masih diliputi kegelapan, kami pun tiba di kediaman sang kapten. Di pekarangan rumahnya beberapa ibu tampak sedang mengupas dan menggoreng ubi jalar yang ternyata, lagi lagi membuat kami terenyuh, untuk di suguhkan kepada kami bersama segelas kopi. Tak ada kebun ubi di pulau Tomia yang tandus tanahnya. Ubi ubi itu di datangkan dari Bau Bau, menumpang kapal yang serupa dengan yang kami pakai menuju pulau ini.
Ternyata tidak hanya Pa De yang menyambut kami, awak kapal yang lainnya, yg juga seorang Dive Master, pa Ahmad dan bang Anto pun ikut bercengkrama bersma kami. Di atas saung kayu yang diterangi setitik cahaya lampu senter, dipinggir pantai, ditemani ubi goreng, dan segelas kopi, kami berbincang bincang tentamg segala macam. Dari mulai dunia diving, yang membuat saya iri karena belum meiliki diving license, sampai berita terkini, jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak, Bogor.
Bang Anto bercerita tentang pengalamannnya sebagai Dive Master yang sudah menyelami keindahan bawah laut di berbagai spot diving di Indonesia. Pengalaman saat dia menjadi dive master bagi orang orang bule, bahkan istri pejabat, sampai pengalamannya menyelam di dekat pulau Runduma, Wakatobi, yang di kenal dengan Super Dive karena saking banyaknya ikan di spot tersebut sampai sampai ketika memegang kamera bawah laut dia kebingungan mau motret ikan mana, karena semuanya menarik.
Sedangkan Pa De, bercerita tentang pengalamannya selama membawa kapal di samudra luas. Hampir seluruh perairan indonesia pernah dijamahnya. Beliau sering diminta para pejabat untuk membawa kapal dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan kapal sekelas motor boat yang kecil pernah di bawanya mengarungi lautan dari Jakarta ke Sulawesi. Berbagai pengalaman, suka dan duka, pernah dirasakannya selama membawa kapal di lautan lepas, bahkan pernah sekali tenggelam di perairan dekat papua yang memaksanya berenang berkilo kilo meter untuk mencapai daratan sampai kakinya hampir mati rasa.
Mengobrol memang membuat lupa waktu. Tanpa terasa waktu sudah mendekati tengah malam. Dengan berat hati kami pun pamit, kembali ke penginapan untuk istirahat. Besok, pagi pagi sekali kami harus sudah ada di pelabuhan, menanti kapal Wisata Indah 1 yang akan mengantar kami kembali ke Bau Bau, meninggalkan semua rasa takjub akan keindahan alam dan keramahan penduduk Wakatobi.
Ini merupakan hari terakhir perjalanan kami di pulau Tomia, sebelum esok kembali ke Bau Bau. Hari ini tidak ada acara jalan pagi mengejar sunrise, hoping island di mulai pukul 9 pagi seperti sebelumnya, menunggu saat saat arus laut tidak terlalu deras. Berarti masih ada waktu untuk tidur lagi setelah solat subuh, melemaskan badan, menghimpun tenaga untuk snorkling terakhir kali. Tidak mau mengulangi kesalahan kemarin, meskipun tidak makan nasi, pagi itu saya paksakan untuk banyak makan cemilan, kue bolu, pisang goreng , dan secangkir teh manis. Lumayan sebagai energi dan pelindung badan dari angin laut dan goncangan ombak, yang tanpa terasa bisa menyiksa lambung. Rencananya hari ini kami akan diving, bagi yang ber-lisensi, dan snorkling di Table Coral, Teluk Maya, dan Fun 38 di sekitar pulau Waha.
KM Romeo
Kapal KM Romeo, sudah menunggu di pelabuhan Tomia. Hari ini pelabuhan terasa ramai. Beberapa kapal penumpang baru saja sandar, membawa para penumpamg dengan segala bawaannya. Semuanya kapal kayu bermotor, seperti kapal yang kami tumpangi dari Bau Bau beberapa hari yang lalu. Kondisi pelabuhan yang ramai ini tentu saja tidak saya sia siakan, saya keluarkan kamera dan jepret sana, jepret sini sebelum naik ke Kapal Romeo. Tidak setiap hari pelabuhan ramai, hanya ketika ada kapal yang sandar saja. Bahkan pelabuhan yang biasanya sepi sama sekali, hari itu dipenuhi oleh pedagang dan tukang ojek yang siap mengantarkan penumpang, kemanapun tujuannya di pulau Tomia.
suasana pelabuhan yang ramai
menyambut kapal yang bersandar
potret masyarakat
meninggalkan pelabuhan
Di tengah perjalanan, belum terlalu jauh dari pesisir pantai Tomia, kami bertemu dengan kapal Wisata Indah 2, saudara dari kapal Wisata Indah 1 yang dulu membawa kami dari Bau Bau. Berbeda dengan saudaranya, ukurannya memang sedikit lebih kecil, tapi konon lebih cepat dan lebih tepat waktu. Lantas kenapa kami dulu tidak menggunakn kapal ini? Karena pada hari itu jadwal kapal Wisata Indah 1 lah yang berlayar. Kedua kapal kakak adik ini berlayar bergantian berdasarkan hari.
menyongsong kapal Wisata Indah 2
Perjalannan ke Table Coral ditempuh kurang lebih satu jam, lebih lama dibandingkan perjalanan ke pulau Nda'a kemarin. Waktu yang cukup panjang ini kami manfaatkan untuk menikmati keindahan laut Wakatobi. Beberapa dari kami berharap dapat bertemu dengan paus pilot. Tapi hari itu mamalia tambun itu tidak menampakkan hidungnya sama sekali. Di kejauhan beberapa kapal nelayan hilir mudik mencari ikan.
pemandangan selepas meningalkan pelabuhan
Meninggalkan pulau Tomia, kami melewati resort mewah milik Wakatobi Dive Resort. Deretan bungalow di sela sela pohon kelapa yang disusun rapi meberi kesan elegan resort yang berdiri di atas hamparan pasir putih ini. Resort yang konon di kelola oleh warga negara asing ini, mematok harga yang cukup "wah" untuk penginapan dan trip di Wakatobi, harga kamar termurah saja berkisar sekitar 3.5 juta permalamnya. Tak heran jika pelanggannya pun kebanyakan warga negara asing juga.
Wkatobi Dive Resort
Snorkling di Table Coral
Ketika berangkat, cuaca tampak cerah ,namun begitu mendekati Table Coral rintik air hujan tiba tiba menyergap kapal kami. Terpal kapal pun diturunkan, untuk berlindung dari cipratan air hujan. Kemudian tiba tiba hujan pun reda. Di depan sebelah kanan kapal terlihat langit mulai cerah. Lain halnya di depan sebelah kiri kapal, awan hujan yang cukup tebal menggelayut siap menumpahkan airnya, sebagiannya bahkan sudah ditumpahkan sehingga yang terlihat hanya gelap. Sungguh cuaca yang aneh. Tak lama kemudian hujan pun menjadi gerimis, menyisakan hanya tetes tetes air yang terkadang hilang di bawa angin. Meskipun hujan sudah reda, matahari tak kunjung menampakkan dirinya. Air laut yang sangat jernih di Table Coral pun tidak bisa menampakkan keelokannya secara maksimal akibat kurangnya paparan sinar matahari.
Di spot ini kami bertemu lagi dengan kapal dari Wakatobi Dive Resort, yang penumpangnya sedang diving menikmati keindahan bawah laut Table Coral. Semuanya warga negara asing. Selama kami melakukan hoping island, diving, dan snorkling di sekitar Tomia, kami tidak petnah melihat pengunjung/ wisatawan lain kecuali satu kapal berisi para bule dari Resotr mewah tersebut. Tidak ada satupun wisatawan domestik. Mungkin karena jadwal trip kami yang jatuh di hari hari biasa, bukan weekend ataupun hari libur. Jadilah kami seolah raja sehari yang bebas menikmati keindahan bawah laut Wakatobi.
turis Wakatobi Dive Resort
Hari ini saya benar benar menikmati snorkling di Table Coral. Saya sudah merasa terbiasa dengan kaki katak, berenang ke sana kemari, meliuk ke kiri dan ke kanan. Tambah lagi, tidak ada acaramasuk angin hari ini. Meskipun tidak ada sinar matahari, saya masih bisa menikmati keindahan bawah laut Table Coral dengan beragam jenis ikan dan terumbu karangnya. Sesekali saya biarkan tubuh ini tebawa arus laut agar tidak terlalu capek. Sementara tangan memegang kamera poket Nikon Coolpix 7100 yg terbungkus oleh casing kedap air Dicapack. Mengabadikan dalam bentuk video keindahan dunia bawah laut. Sayangnya kamera ini kurang mumpuni untuk digunakan memotret di bawah laut, atau memang saya kurang memahami fungsi dan fitur kamera ini :p.
bilas setelah diving
dive master kita
Teluk Maya
Setelah semuanya kembali ke kapal dan beristirahat sejenak kapal pun menuju ke spot berikutnya Teluk Maya. Salah satu awak kapal berceloteh," Spot ini tak terlalu bagus, ikannya tak terlalu bannyak". Ternyata benar saja, memang tidak sebayak di Table Coral. Tapi saya masih bisa menikmatinya. Meskipun tidak seindah spot sebelumnya tapi masih mending di banding spot snorkling lainnya di luar Wakatobi. Setelah puas berkeliling, kami kembali ke kapal untuk menyantap makan siang.
Bertemu Ular Laut
Setelah makan siang kami melanjutkan ke spot terakhir di dekat pulau Waha. Di spot inilah pertama kali saya bertemu ular laut ketika snorkling. Ketika sedang asik mem-video keindahan bawah lautnya, tanpa sadar seekor ular laut berwarna birudengan garis garis hitam berlenggak lenggok tepat satu meter di bawah kaki saya, sesekali mengaduk ngaduk pasir, mungkin sedang mencari makan. Hewan laut yang tidak saya harapkan untuk bertemu ini tiba tiba saja muncul di bawah saya.
Ular laut merupakan ular yang paling berbisa diantara jenis ular yang ada di bumi. Dalam waktu kurang dari 8 menit bisanya dapat membunuh korbannya tanpa ampun. Mengingat fakta ini dan melihat ular yang berlenggak lenggok sangat dekat dengan kaki saya, sejenak saya tercekat, tak bisa bergerak, kaget sekaligus takut. Memang ular laut tidak akan mematuk kalau tidak diganggu. Tapi saya hawatir, karena saking dekatnya, ular itu terhantam kaki katak saya dan kemudian menyerang balik. Setelah sadar dari keterkejutan, perlahan tapi pasti saya berenang menjauh dengan hati hati, jangan sampai menendang si ular laut. Sejak pertemuan dengan ular itu, tiba tiba saja saya kehilangan selera untuk melanjutkan snorkling. Setelah bolak balik berenang di sekitar kapal beberapa menit, saya pun naik ke kapal, mengeringkan diri sambil melihat hasil video di kamera.
Menikmati Eksotisme Pulau Sawa
Setelah semuanya naik kapal, kini saatnya singgah sebentar di pulau Sawa. Di perjalanan saya mengamati rakit apung seorang nelayan yang sedang mengepul ikan. Pemandangan yang cukup menarik untuk diabadikan. Di kejauhan sebuah kapal motor cepat melintas membelah air laut. Buih putih lintasannya masih tersisisa meski kapal tersebut sudah beranjak jauh.
rumah apung nelayan
perahu motor cepat
Tak sampai 10 menit kapal bergerak, kami pun tiba di pulau Sawa. Meskipun air sudah pasang, namun tidak cukup tinggi untuk bersandar ditepi pulau. Akhirnya sisa perjalanan ke pulau Sawa pun dilanjutkan dengan mendayung sampan. Mengantarkan kami satu persatu ke pulau yg kelihatannya sepi penghuni. Hanya beberapa ekor ayam yang sedang berkeliaran di tepi pantainya. Jantannya jauh lebih sedikit dari betinanya. Sementara beberapa camar melayang bergerombol di atasnya.
ayam penghuni Pulau Sawa
burung camar
Pulau Sawa
menapak di pulau Sawa
Saya tidak ikut turun ke pulau. Selain karena memang waktunya yang sempit, kapal harus menjauh dari pulau sebelum air laut kembali surut kalau tidak kapal bisa tersangkut di karang, saya hanya ingin mengabadaikan keindahan pulau dan garis pantainya dari atas kapal. Seperti layaknya kepulauan Wakatobi pada umumnya, air sekitar pulau ini sangat jernih, permadani koral terhampar luas di bawahnya. Sayang, sampai menjelang sore itu, matahari sama sekali tidak menampakkan dirinya. Tertutup awan putih bekas mendung tadi pagi.
menikmati panorama Pulau Sawa dari atas kapal
Setelah kurang lebih setengah jam air laut mulai surut. Awak kapal berteriak teriak kepada kawan kami yang masih berada di pulau, " Ayo kembali ke kapal, kalau tidak air keburu surut, kapal bisa nyangkut di karang sampai besok pagi, saat air kembali pasang ! " Sampan pun kembali mengantarkan kawan kami satu persatu ke kapal. Dan kapal pergi menjauh dari pulau yang airnya mulai surut secara perlahan.
kembali mendayung sampan ke kapal
Kembali Ke Tomia
Warna langit sore yang sudah mulai menguning mengiringi sisa perjalanan kami kembali ke pulau Tomia. Beberapa pemandangan dan moment yang menarik melintas di sekitar kami, mengelitik untuk diabadikan dalam sebuah foto. Perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Rumah apung mungil yang berebut perhatian dengan warna warni langit sore dibelakangnya. Rumah rumah kayu sederhana di pesisir pulau Tomia dengan perahu kayu tertambat depannya.
lapisan langit menjelang senja
aktifitas nelayan di sore hari
rumah di pesisir pantai Tomia
pelabuhan yang telah yang sepi
Matahari sudah hampir tenggelam ketika kami tiba di pelabuhan. Beberapa anak anak berenang dan snorkling di perairan sebelah pelabuhan yang airnya jernih. Sesampainya di penginapan, setelah istirahat sejenak, kami mulai packing baju dan barang barang karena besok pagi sudah harus meninggalkan pulau Tomia beserta seluruh keindahannya.
Beramah Tamah
Karena ini malam terakhir kami berada di Tomia, selepas isya, kami beramah tamah ke rumah salah satu kawan , Ningsih, seorang gadis kelas satu SMA penduduk asli pulau Tomia, yang sejak hari pertama kedatangan kami senantiasa menyertai kami selama tripdi pulau ini . Menyoal namanya, sampai sekarang saya masih belum mengerti kenapa namanya mirip dengan nama Jawa, padahal ibu bapaknya asli penduduk Tomia juga.
Baru berjalan beberapa puluh meter berjalan keluar penginapan, kami disambut oleh suasana gelap gulita. Malam itu di beberapa lokasi memang sedang diadakan pemadaman listrik bergilir oleh PLN. Yang tersisa hanya setitik cahaya bulan yang tak mampu menerangi jalan di depan kami. Untungnya beberapa dari kami membawa lampu senter sebagai antisipasi.
Sesampai di rumah nya, kami disambut oleh bau harum makanan, seperti pisang goreng. Bau itu ternyata berasal dari wajan yg digunakan oleh ibunya untuk memasak kue khas daerah itu. Di sudut ruang tamu , yang sepertinya juga merupakan ruang serbaguna untuk semua aktivitas kecuali tidur, yang masih gelap karena pemadaman listrik, sebuah kompor gas sederhana menyala, memanaskan minyak yang menggejolak didalam wajan. Dengan telaten, beliau menuangkan adonan tepung beras yang telah dicampurgula melalui celah celah kecil batok kelapa yang telah di lubangi kecil kecil, sambil di goyang goyang perlahan secara merata ke dalan wajan. Kemudian dengan sendok makan, dilipatnya adonan tersebut lalu digulung diatas minyak yang mendidih samapai matang. Hasil akhirnya adalah kue kering seperti kue semprong akan tetapi dengan tekstur seperti jalinan benang.
Yang menarik, ternyata kue khas tersebut sengaja di buat untuk menyambut kedatangan kami dan juga menjadi oleh oleh untuk kawan kawan explore solo ketika pulang esok hari. Katanya, kue tersebut jarang di buat kecuali kalau ada acara acara khusus. Dan yang membuat kami terenyuh, si ibu harus bela belain pinjam peralatan untuk membuat kue tersebut ke tetangga, dan memasaknya di tengah gelap gulita. Sungguh keramahan dan ketulusan yang mungkin sudah sangat jarang di temui di kota kota besar.
Setelah berbincang bincang, beramah tamah yang diselingi senda gurau, dan tentu saja, mencicipi kue gulung yang terasa manis di lidah, semanis ketulusan keluarga Ningsih menyambut tamu, kami pamit untuk melanjutkan kunjungan ke rumah Pa De, kapten kapal km Romeo.
Setelah berjalan kaki kurang lebih 5 menit, melewati belasan rumah dan pertigaan jalan yang masih diliputi kegelapan, kami pun tiba di kediaman sang kapten. Di pekarangan rumahnya beberapa ibu tampak sedang mengupas dan menggoreng ubi jalar yang ternyata, lagi lagi membuat kami terenyuh, untuk di suguhkan kepada kami bersama segelas kopi. Tak ada kebun ubi di pulau Tomia yang tandus tanahnya. Ubi ubi itu di datangkan dari Bau Bau, menumpang kapal yang serupa dengan yang kami pakai menuju pulau ini.
Ternyata tidak hanya Pa De yang menyambut kami, awak kapal yang lainnya, yg juga seorang Dive Master, pa Ahmad dan bang Anto pun ikut bercengkrama bersma kami. Di atas saung kayu yang diterangi setitik cahaya lampu senter, dipinggir pantai, ditemani ubi goreng, dan segelas kopi, kami berbincang bincang tentamg segala macam. Dari mulai dunia diving, yang membuat saya iri karena belum meiliki diving license, sampai berita terkini, jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak, Bogor.
Bang Anto bercerita tentang pengalamannnya sebagai Dive Master yang sudah menyelami keindahan bawah laut di berbagai spot diving di Indonesia. Pengalaman saat dia menjadi dive master bagi orang orang bule, bahkan istri pejabat, sampai pengalamannya menyelam di dekat pulau Runduma, Wakatobi, yang di kenal dengan Super Dive karena saking banyaknya ikan di spot tersebut sampai sampai ketika memegang kamera bawah laut dia kebingungan mau motret ikan mana, karena semuanya menarik.
Sedangkan Pa De, bercerita tentang pengalamannya selama membawa kapal di samudra luas. Hampir seluruh perairan indonesia pernah dijamahnya. Beliau sering diminta para pejabat untuk membawa kapal dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan kapal sekelas motor boat yang kecil pernah di bawanya mengarungi lautan dari Jakarta ke Sulawesi. Berbagai pengalaman, suka dan duka, pernah dirasakannya selama membawa kapal di lautan lepas, bahkan pernah sekali tenggelam di perairan dekat papua yang memaksanya berenang berkilo kilo meter untuk mencapai daratan sampai kakinya hampir mati rasa.
Mengobrol memang membuat lupa waktu. Tanpa terasa waktu sudah mendekati tengah malam. Dengan berat hati kami pun pamit, kembali ke penginapan untuk istirahat. Besok, pagi pagi sekali kami harus sudah ada di pelabuhan, menanti kapal Wisata Indah 1 yang akan mengantar kami kembali ke Bau Bau, meninggalkan semua rasa takjub akan keindahan alam dan keramahan penduduk Wakatobi.
2 comments:
akhirnya beres juga bacanya
skrg nunggu update-an foto2 hoho
~sambil gelar tiker~
nyarter KM Romeo berapaan mas?
ada contact personnya?
thanks
Post a Comment