Hari itu, sekitar jam 12.30 siang,matahari cukup terik menyinari kota polusi, Jakarta. Seperti biasa, untuk makan siang saya memesan nasi plus lauk pauk di sebuah warteg di belakang kantor (warteg mania, broow :p). Setelah mencari posisi duduk yang enak untuk menikmati hidangan sekaligus posisi yang strategis untuk mata ini memandangi televisi, makananpun siap dinikmati. Dengan khusyu dan kontinyu sendok-demi sendok nasi masuk kemulutku, sampai akhirnya terhenti sejenak ketika melihat siaran berita di televisi, tentang sekelompok masyarakat yang "hobi" memakan kotoran sapi.
Kotoran sapi? Ya, kotoran sapi !
Sedang makan enak-enaknya di suguhi tontonan yang "kotor-kotor" (namanya juga kotoran sapi, gimana nggak kotor!). Sejenak terjadi pergolakan dalam batin ini, antara meneruskan menonton berita yang "kotor-kotor" sambil menikmati makanan,atau mengacuhkan berita "menarik" tersebut, dan meneruskan makan secara khusyu, tanpa gangguan dari luar.
Pergolakan batin masih terus berlanjut (kayak serial silat). Ditonton enek, nggak ditonton penasaran. Akhirnya dengan menguatkan mental saya membulatkan tekad untuk terus memelototi, berita "kotor" tersebut. Di dalam berita tersebut di perlihatkan step by step pembuatan makanan yang bersumber dari kotoran sapi, sampai prosesi penyantapannya.
Pertama-tama juru masak mengambil usus besar sapi malang yang baru dipotong. Kemudian usus besar tersebut di sayat melintang, hingga kotoran sapi yang berwarna hijau kecoklat-coklatan dan masih hangat terlihat menyembul keluar (nggak usah dibayangin deh...). Langkah selanjutnya sang juru masak memasukan kotoran sapi tersebut ke dalam sebuah wadah (kotorannya sampai sebaskom gede,brow ... menggiurkan ... srlupps ... hoeeks). Lalu kotoran sapi yang sudah menggunung dalam wadah tersebut, sedikit demi sedikit dimasukkan kesebuah kain mirip "kelambu" untuk disaring airnya, hingga didapatkan ekstrak kotoran sapi yang masih segar. Berikutnya, air hasil ekstraksi kotoran sapi terebut di pisahkan dengan ampasnya, nah air ekstrak inilah yang diambil untuk dijadikan bahan masakan, sementara ampasnya dibuang (bye bye ampas..). Kemudian ekstrak kotoran sapi itu di campurkan dengan daun singkong(kalo nggak salah) dan rempah rempah yang lainnya, dan dimasak diatas penggorengan dari batu sehingga jadilah makanan yang mirip dengan sayur daun singkong, bedanya air sayurnya berasal dari ekstraksi kotoran sapi.
Kemudian tayangannya dilanjutkan dengan acara santap menyantap hidangan sayur hasil ekstraksi kotoran sapi tersebut. Dalam scene tersebut terlihat beberapa orang dengan lahapnya menikmati sayur tersebut. Meskipun tampilannya seperti layaknya sayur daun singkong biasa, tetapi baunya, bau menyengat kotoran sapi. Ketika reporter menanyakan apakah mereka tidak terganggu dengan bau kotoran sapi tersebut, dengan enteng "sang penikmat" menjawab,"justru disinilah letak kenikmatannya,bau inilah yang meningkatkan selera, kalau tidak tercium baunya malah tidak tersasa nikmat","justru bau inilah yang dicari-cari".
Katanya, tradisi memakan "kotoran" ini telah terjadi turun menurun dari nenek moyang mereka.
Tayangan tentang prosesi makan memakan kotoran pun berakhir menyertai sendokan nasi terakhirku.
Di perjalanan untuk kembali lagi bekerja, masih terbayang-bayang dibenakku tentang tayangan "kotor" itu, dan membuat otak ini sejenak tidak mampu mencerna jalan pikiran manusia. Tapi tak apalah ... toh itu urusan mereka, tiap manusia pasti punya jalan, tiap manusia pasti punya pilihan ...
hmmm ... Rasanya masih ada kotoran sapi yang tersisa di gigiku ...
Kotoran sapi? Ya, kotoran sapi !
Sedang makan enak-enaknya di suguhi tontonan yang "kotor-kotor" (namanya juga kotoran sapi, gimana nggak kotor!). Sejenak terjadi pergolakan dalam batin ini, antara meneruskan menonton berita yang "kotor-kotor" sambil menikmati makanan,atau mengacuhkan berita "menarik" tersebut, dan meneruskan makan secara khusyu, tanpa gangguan dari luar.
Pergolakan batin masih terus berlanjut (kayak serial silat). Ditonton enek, nggak ditonton penasaran. Akhirnya dengan menguatkan mental saya membulatkan tekad untuk terus memelototi, berita "kotor" tersebut. Di dalam berita tersebut di perlihatkan step by step pembuatan makanan yang bersumber dari kotoran sapi, sampai prosesi penyantapannya.
Pertama-tama juru masak mengambil usus besar sapi malang yang baru dipotong. Kemudian usus besar tersebut di sayat melintang, hingga kotoran sapi yang berwarna hijau kecoklat-coklatan dan masih hangat terlihat menyembul keluar (nggak usah dibayangin deh...). Langkah selanjutnya sang juru masak memasukan kotoran sapi tersebut ke dalam sebuah wadah (kotorannya sampai sebaskom gede,brow ... menggiurkan ... srlupps ... hoeeks). Lalu kotoran sapi yang sudah menggunung dalam wadah tersebut, sedikit demi sedikit dimasukkan kesebuah kain mirip "kelambu" untuk disaring airnya, hingga didapatkan ekstrak kotoran sapi yang masih segar. Berikutnya, air hasil ekstraksi kotoran sapi terebut di pisahkan dengan ampasnya, nah air ekstrak inilah yang diambil untuk dijadikan bahan masakan, sementara ampasnya dibuang (bye bye ampas..). Kemudian ekstrak kotoran sapi itu di campurkan dengan daun singkong(kalo nggak salah) dan rempah rempah yang lainnya, dan dimasak diatas penggorengan dari batu sehingga jadilah makanan yang mirip dengan sayur daun singkong, bedanya air sayurnya berasal dari ekstraksi kotoran sapi.
Kemudian tayangannya dilanjutkan dengan acara santap menyantap hidangan sayur hasil ekstraksi kotoran sapi tersebut. Dalam scene tersebut terlihat beberapa orang dengan lahapnya menikmati sayur tersebut. Meskipun tampilannya seperti layaknya sayur daun singkong biasa, tetapi baunya, bau menyengat kotoran sapi. Ketika reporter menanyakan apakah mereka tidak terganggu dengan bau kotoran sapi tersebut, dengan enteng "sang penikmat" menjawab,"justru disinilah letak kenikmatannya,bau inilah yang meningkatkan selera, kalau tidak tercium baunya malah tidak tersasa nikmat","justru bau inilah yang dicari-cari".
Katanya, tradisi memakan "kotoran" ini telah terjadi turun menurun dari nenek moyang mereka.
***
Tayangan tentang prosesi makan memakan kotoran pun berakhir menyertai sendokan nasi terakhirku.
Di perjalanan untuk kembali lagi bekerja, masih terbayang-bayang dibenakku tentang tayangan "kotor" itu, dan membuat otak ini sejenak tidak mampu mencerna jalan pikiran manusia. Tapi tak apalah ... toh itu urusan mereka, tiap manusia pasti punya jalan, tiap manusia pasti punya pilihan ...
hmmm ... Rasanya masih ada kotoran sapi yang tersisa di gigiku ...
0 comments:
Post a Comment