Selasa, 18 Maret 2009, menjelang tengah malam.
Malam itu jam menunjukan sekitar pukul 10 malam. Dari mampang saya mencegat Kopaja P20 ke arah Senen. Karena malam hari, hanya sedikit orang yang berada di dalam bis. Ketika saya masuk ke dalam, sudah ada seorang pengamen yang tengah mendendangkan sebuah lagu. Usianya mungkin sekitar sebelasan tahun.
Dengan menggunakan kaos oblong seadanya ditemani kecrekan pasir buatan tangan, dia membawakan lagu sejenis qasidahan. Yang menarik, si bocah pengamen ini membawakan lagu dengan hidmat dan penghayatan yang amat dalam bak konser tunggal Ariel Peterpan. Pelafalan bait demi bait syair lagu di fasihkan sedmikian rupa. Mulutnya bergerak "optimal" sesuai dengan pelafalan huruf bak seorang penyani seriosa. Ketika mengucapkan huruf vokal "A" maka mulut terbuka sebesar-besarnya, ketika melafalkan huruf "E" mulut di tarik selebar lebarnya, dan ketika melafalkan vokal "U" mulut di dorong se monyong-monyongnya. Sesuatu yang mengingatkan saya akan pelajaran seni musik di SMA dulu atau ketika belajar tahsin (memperbaiki bacaan al quran) dimana harus melafalkan mahkrojul huruf dengan jelas dan tepat. Hal yang agak aneh untuk anak seusianya dan sempat membuat saya berfikir kalau si bocah cacat mental. Dia bernyanyi cukup panjang, selesai lagu qasidah disambung lagu pop lainnya.
Setelah bernyanyi dia berdoa, mendoakan keselamat penumpang. Serius. Khusyu. Kemudian, seperti pengamen pada umumnya, ia meminta saweran kepada penumpang. Beberapa memberi. Sebagian besar acuh. Setiap ada orang yang memberi uang, bocah pengamen itu mengucapkan terimakasih dengan setulus hati. Ia berjalan dari depan sampai ujung belakang.
Umumnya, setelah mendapatkan uang, si pengamen langsung turun lewat pintu belakang. Tetapi tidak bagi bocah pengamen ini. Tanpa disangka-sangka, dan ini yang membuat saya takjub, ia kembali berjalan ke depan. Sambil berjalan ia hampiri satu-satu orang-orang yang telah memberinya uang tadi, kemudian berterimakasih secara personal. Setelah mengucapkan terimakasih untuk yang kedua kalinya baru ia turun dari bis.
Sungguh pemandangan yang jarang terjadi.
Malam itu jam menunjukan sekitar pukul 10 malam. Dari mampang saya mencegat Kopaja P20 ke arah Senen. Karena malam hari, hanya sedikit orang yang berada di dalam bis. Ketika saya masuk ke dalam, sudah ada seorang pengamen yang tengah mendendangkan sebuah lagu. Usianya mungkin sekitar sebelasan tahun.
Dengan menggunakan kaos oblong seadanya ditemani kecrekan pasir buatan tangan, dia membawakan lagu sejenis qasidahan. Yang menarik, si bocah pengamen ini membawakan lagu dengan hidmat dan penghayatan yang amat dalam bak konser tunggal Ariel Peterpan. Pelafalan bait demi bait syair lagu di fasihkan sedmikian rupa. Mulutnya bergerak "optimal" sesuai dengan pelafalan huruf bak seorang penyani seriosa. Ketika mengucapkan huruf vokal "A" maka mulut terbuka sebesar-besarnya, ketika melafalkan huruf "E" mulut di tarik selebar lebarnya, dan ketika melafalkan vokal "U" mulut di dorong se monyong-monyongnya. Sesuatu yang mengingatkan saya akan pelajaran seni musik di SMA dulu atau ketika belajar tahsin (memperbaiki bacaan al quran) dimana harus melafalkan mahkrojul huruf dengan jelas dan tepat. Hal yang agak aneh untuk anak seusianya dan sempat membuat saya berfikir kalau si bocah cacat mental. Dia bernyanyi cukup panjang, selesai lagu qasidah disambung lagu pop lainnya.
Setelah bernyanyi dia berdoa, mendoakan keselamat penumpang. Serius. Khusyu. Kemudian, seperti pengamen pada umumnya, ia meminta saweran kepada penumpang. Beberapa memberi. Sebagian besar acuh. Setiap ada orang yang memberi uang, bocah pengamen itu mengucapkan terimakasih dengan setulus hati. Ia berjalan dari depan sampai ujung belakang.
Umumnya, setelah mendapatkan uang, si pengamen langsung turun lewat pintu belakang. Tetapi tidak bagi bocah pengamen ini. Tanpa disangka-sangka, dan ini yang membuat saya takjub, ia kembali berjalan ke depan. Sambil berjalan ia hampiri satu-satu orang-orang yang telah memberinya uang tadi, kemudian berterimakasih secara personal. Setelah mengucapkan terimakasih untuk yang kedua kalinya baru ia turun dari bis.
Sungguh pemandangan yang jarang terjadi.
0 comments:
Post a Comment