Jumat,27 februari 2009, sekitar jam 5 sore.
Sore itu, halte busway kampung melayu tampak lengang. Hanya beberapa calon penumpang. Beberapa muda mudi berbaris antri di depan. Seorang ibu bergaya modis, yang menunjukkan tingkat sosialnya, tepat berdiri disamping saya. Petugas halte busway terbuai dengan kesibukannya.
Di tengah kekhusyuan hingar bingar sebuah terminal, tiba tiba pecah sebuah tangisan. Suaranya melengking tinggi. Kecil. Seorang balita. Serentak kepala para calon penumpang busway menengok ke arah kiri, arah datangnya suara. Separuh acuh.
Seorang balita perempuan, tanpa busana basah kuyup tepat di samping kiri bawah halte. Ibunya yang tunawisma sedang memandikannya, atau mungkin hanya mengelap tubuhnya dengan kain basah karena saya tidak melihat ada sumber air di sana. Sementara rekan-rekan tunawisma lainnya berasyik masyuk mengobrol antar sesamanya dipinggiran jalur masuk busway. Balita itu mungkin dibersihkan setelah seharian bekerja dengan ibunya, atau yang mengaku ibunya. Sebagai seorang tunawisma, kerjanya mungkin berjualan asongan, atau bahkan mengemis.
Sejenak ada rasa prihatin di hati. Kulayangkan pandangan ke sekitar. Disampingnya, seorang petugas busway sedang asyik ber-sms ria sambil bercanda dengan kawannya. Para eksekutif muda terburu buru, bergegas pulang mengejar kendaraan. gadis-gadis SMA tertawa cekikikan. Supir mikrolet ribut soal omprengan. Ramai. Beragam. Tapi semuanya Acuh. Inilah Jakarta, manusia sibuk dengan dirinya sendiri.
Kuarahkan pandangan tepat ke samping sebelah kananku. Tampak sang ibu yang bergaya modis di sebelahku memandang takzim sang balita. Entah apa dibenaknya. Kasihan? Jijik? Sebal? tak dapat kubaca ekspresinya. Cukup lama ia terpaku. Mungkin ingat anak-anaknya dirumah atau mungkin ingat kamar mandinya yang luks plus shower dan air hangat.
Busway datang. Semua terkesiap. Berebut naik. Berebut tempat duduk. Setelah itu lupa. Lupa akan tangisan si balita. Mungkin sebagian menyimpannya dihati. Tapi setelah itu lupa.
Sore itu, halte busway kampung melayu tampak lengang. Hanya beberapa calon penumpang. Beberapa muda mudi berbaris antri di depan. Seorang ibu bergaya modis, yang menunjukkan tingkat sosialnya, tepat berdiri disamping saya. Petugas halte busway terbuai dengan kesibukannya.
Di tengah kekhusyuan hingar bingar sebuah terminal, tiba tiba pecah sebuah tangisan. Suaranya melengking tinggi. Kecil. Seorang balita. Serentak kepala para calon penumpang busway menengok ke arah kiri, arah datangnya suara. Separuh acuh.
Seorang balita perempuan, tanpa busana basah kuyup tepat di samping kiri bawah halte. Ibunya yang tunawisma sedang memandikannya, atau mungkin hanya mengelap tubuhnya dengan kain basah karena saya tidak melihat ada sumber air di sana. Sementara rekan-rekan tunawisma lainnya berasyik masyuk mengobrol antar sesamanya dipinggiran jalur masuk busway. Balita itu mungkin dibersihkan setelah seharian bekerja dengan ibunya, atau yang mengaku ibunya. Sebagai seorang tunawisma, kerjanya mungkin berjualan asongan, atau bahkan mengemis.
Sejenak ada rasa prihatin di hati. Kulayangkan pandangan ke sekitar. Disampingnya, seorang petugas busway sedang asyik ber-sms ria sambil bercanda dengan kawannya. Para eksekutif muda terburu buru, bergegas pulang mengejar kendaraan. gadis-gadis SMA tertawa cekikikan. Supir mikrolet ribut soal omprengan. Ramai. Beragam. Tapi semuanya Acuh. Inilah Jakarta, manusia sibuk dengan dirinya sendiri.
Kuarahkan pandangan tepat ke samping sebelah kananku. Tampak sang ibu yang bergaya modis di sebelahku memandang takzim sang balita. Entah apa dibenaknya. Kasihan? Jijik? Sebal? tak dapat kubaca ekspresinya. Cukup lama ia terpaku. Mungkin ingat anak-anaknya dirumah atau mungkin ingat kamar mandinya yang luks plus shower dan air hangat.
Busway datang. Semua terkesiap. Berebut naik. Berebut tempat duduk. Setelah itu lupa. Lupa akan tangisan si balita. Mungkin sebagian menyimpannya dihati. Tapi setelah itu lupa.
"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara" (Pasal 32, UUD 45)
2 comments:
Mau nangis ya rasanya melihat anak kecil yang malang seperti itu.
iya pak :)
tapi yang kemudin menjadi pertanyaan adalah dimana pemerintah, mana realisasi dari pasal 32?
Post a Comment