Kamis, 10 Juli 2008, sekitar jam stengah tujuh malam.
Selepas menunaikan shalat maghrib perut terasa lapar. Saya dan seorang teman bergegas ke warung di depan kantor untuk makan malam. Malam ini pilihan lauk pauknya tinggal sedikit. Akhirnya kami pesan pecel ayam. Dulu pertama kali beli pecel ayam di sini, sekitar dua tahun yang lalu, harganya masih sekitar Rp. 6000 rupiah sekarang sudah Rp. 9000 rupiah. Mungkin ini akibat harga BBM yang semakin naik tak pernah turun.
Biasanya kalau membeli pecel ayam, antara dada dan paha, saya pilih dada, karena dagingnya lebih banyak sedangkan harganya sama. Tapi sebelum membeli harus tanya dulu, apakah dada ayamnya tersedia? karena terkadang yang tersisa cuma tinggal paha ayam yang dagingnya lebih sedikit. Kalau yang tersisa tinggal paha ayam, biasanya saya tak jadi beli karena menurut prinsip ekonomi, kalau membeli paha ayam berarti saya rugi.
Seperti biasa malam ini kami bertanya dulu ke si Mba penjaga warung.
" Ayam yang dada, ada Mba?"
" Ada Mas," jawab si Mba.
Temanku pun ikut bertanya, cuma pertanyaannya agak janggal terdengar.
" Dadane ono piro Mba?" (baca: dadanya ada berapa Mba?)
Si Mba terdiam sesaat, kemudian menjawab sambil tertawa malu,
"Ono akeh Mas" (baca:ada banyak mas)
Maksudnya teman saya tidak salah, menyambung pertanyaan yang pertama saya ajukan, "Dada (ayam) nya ada berapa ?" Tapi pertanyaannya terlalu disingkat dan tidak tepat diutarakan kepada objek yang bernama "perempuan" sehingga seolah olah dia bertanya " dadanya si Mba ada berapa?"
Kalau sudah begitu kacau lah dunia :D []
Selepas menunaikan shalat maghrib perut terasa lapar. Saya dan seorang teman bergegas ke warung di depan kantor untuk makan malam. Malam ini pilihan lauk pauknya tinggal sedikit. Akhirnya kami pesan pecel ayam. Dulu pertama kali beli pecel ayam di sini, sekitar dua tahun yang lalu, harganya masih sekitar Rp. 6000 rupiah sekarang sudah Rp. 9000 rupiah. Mungkin ini akibat harga BBM yang semakin naik tak pernah turun.
Biasanya kalau membeli pecel ayam, antara dada dan paha, saya pilih dada, karena dagingnya lebih banyak sedangkan harganya sama. Tapi sebelum membeli harus tanya dulu, apakah dada ayamnya tersedia? karena terkadang yang tersisa cuma tinggal paha ayam yang dagingnya lebih sedikit. Kalau yang tersisa tinggal paha ayam, biasanya saya tak jadi beli karena menurut prinsip ekonomi, kalau membeli paha ayam berarti saya rugi.
Seperti biasa malam ini kami bertanya dulu ke si Mba penjaga warung.
" Ayam yang dada, ada Mba?"
" Ada Mas," jawab si Mba.
Temanku pun ikut bertanya, cuma pertanyaannya agak janggal terdengar.
" Dadane ono piro Mba?" (baca: dadanya ada berapa Mba?)
Si Mba terdiam sesaat, kemudian menjawab sambil tertawa malu,
"Ono akeh Mas" (baca:ada banyak mas)
Maksudnya teman saya tidak salah, menyambung pertanyaan yang pertama saya ajukan, "Dada (ayam) nya ada berapa ?" Tapi pertanyaannya terlalu disingkat dan tidak tepat diutarakan kepada objek yang bernama "perempuan" sehingga seolah olah dia bertanya " dadanya si Mba ada berapa?"
Kalau sudah begitu kacau lah dunia :D []